ujian hidup

Krisan Telah Layu

(Ujian Hidup dan Kebahagiaan)

Karya : Maulida Abdillah Alfaruqy ( 9 Bil )

“Terkadang aku merasa putus asa dengan hidup yang kujalani. Aku ingin segera berakhir hingga waktu tak membawaku pada titik ini, saat kebingungan menerpa diiringi duka” gumam seorang gadis remaja yang tengah duduk di bawah lebatnya pohon jambu.

“Aku boleh saja murka dengan keadaan. Tak ada sedikitpun celah untuk bernafas lega selama aku hidup 15 tahun lamanya. Tak ada senyum yang menyapaku di pintu kelas maupun gerbang istanaku sendiri. Hanya ada sunyi yang menyeruak” batin gadis tadi seraya melempar kerikil kecil yang ada di sebelahnya.

Kesunyian terkadang menimbulkan dendam. Ramai yang terkenang lambat laun menjelma menjadi iblis yang besemayam di kanan dan kiri bahu. Oleh karena itulah, kita bisa merasakan beban berat dalam kehidupan ini.

“Krisan, minggu depan aku akan pergi ke Paris! Kau minta oleh-oleh apa? Tulislah di sini!” kata seseorang dengan nafas yang terengah-engah.

‘Aku… Pingin… Sendiri…’ begitulah kalimat yang dituliskan oleh gadis tadi di atas kertas yang sengaja di bawa oleh sahabatnya.

Tak biasanya Krisan berlaku seperti ini. Meski ia merupakan penyandang disabilitas, yakni bisu, namun orang-orang disekitarnya mengenal gadis ini sebagai sosok yang sangatlah ceria.

Krisan Aquila Scullin atau sering dipanggil Krisan, keindahan namanya tak seindah nasibnya. 1 tahun lalu ia ditinggalkan sang ibu yang terkena kanker paru-paru dan kakaknya menyusul beliau kembali ke hadapan Yang Maha Kuasa 2 hari yang lalu karena hemofilia yang ia idap sejak berusia 5 tahun. Seharusnya ia masih mempunyai ayah. Namun, entah kenapa ia tidak mau menyebut “AYAH” dalam hidupnya.

“San, kamu kenapa, sih?” tanya sahabatnya.

‘Kamu.. Bisa.. Diam.. Tidak.. Luna?’ jawab Krisan masih dengan abjad.

“Ya, sudah aku pamit! Jaga diri baik-baik, ya!” kata sahabatnya yang bernama Luna itu, sementara Krisan hanya membalas dengan mengangkat tangan kanannya ke atas.

Langit mulai menjingga, namun Krisan masih saja berdiam di tempatnya semula. Ia seperti malas beranjak dari tempat itu. Jika sudah begini, maka ia akan sulit diajak pulang. Hal serupa pernah ia lakukan sekitar satu setengah tahun silam, hanya saja tempatnya di ruang jurnalistik sekolah dengan berbagai tumpukan materi koran kecik mingguan. Pada saat itu, ia masih normal dan bersekolah di sekolah umum. Gadis ini mengalami kebisuan ketika sesuatu hal menimpanya.

***

“Krisan, tolong antarkan hasil cek ini ke kantor Mr. Steaward, ya!” kata Pak Rowbel, ayah Krisan.

“Tapi saat ini kan hujan, Yah!” sahut Krisan.

“Kamu ini banyak alasan! Cepat sana!” paksa Pak Rowbel.

Dengan setengah hati, Krisan mengayuh sepeda menuju kantor teman ayahnya. Letaknya memang tak terlalu jauh, hanya 1 km. Akan tetapi, hujan turun dengan derasnya, ia takut jika kertas hasil cek tadi rusak sehingga ayahnya murka.

Mengayuh sepeda saat hujan memang tidaklah semudah biasanya, jarak pandang berkurang dan dingin menusuk hingga ke tulang. Namun akhirnya, ia berhasil sampai di kantor Mr. Steaward dan menyerahkan hasil cek tanpa ada yang rusak sedikitpun.

“Nak Krisan, tunggu di sini dulu saja sampai hujannya reda. Nanti saya buatkan coklat panas.” tawar Mr. Steaward.

“Tidak, Mr! Saya harus segera pulang dan membantu ayah di laboratorium. Saya langsung pamit.” jawab Krisan seraya mencium tangan Mr. Steaward.

“Hati-hati di jalan, Nak! Salam untuk Mr. Rowbel, sampaikan rasa terima kasih saya.” kata Mr. Steaward sedikit berteriak.

Sambil mengayuh sepedanya kembali, gadis itu mulai menggigil. Badannya bergetar dan rahangnya saling berbenturan menciptakan nadanya sendiri, menyaingi rinai yang bernyanyi. Beberapa saat kemudian, ia melemas. Kepalanya terasa pening.

“Braaaakkkk…” terdengan suara yang begitu keras.

Warga Canyon Brisbane St. yang mendengar suara itu tak lantas menghampiri tempat kejadian sebab hujan nampak sebesar kelereng. Namun, tiba-tiba seorang anak laki-laki menghampiri Krisan dan membawa ke rumahnya yang hanya berjarak 200 meter.

Sejak saat itu, entah karena trauma atau apa Krisan tak bisa berkata-kata lagi alias bisu. 1 minggu kemudian, ia keluar dari sekolah formalnya dan dipindahkan sang ayah ke Sekolah Luar Biasa. Hal ini menyebabkan Krisan tak mau pergi ke sekolah sampai sekarang. Ia beranggapan bahwa ia adalah anak normal seperti teman-temannya yang lain.

^^^

“Krisan… Krisan…” kata seseorang sedikit berbisik.

Seketika bulu kuduknya berdiri. Ia melirik jam tangan biru kesayangannya, pukul 17.32 WIB. Ini terlalu gelap meski tak kan ada yang marah jika ia pulang terlambat.

Sesegera mungkin Krisan bangkit dari duduknya dan berjalan pulang setengah berlari. Bukannya apa-apa, ia hanya bingung bagaimana caranya berteriak jika yang memanggilnya tadi adalah penculik atau sebangsanya.

“Krisan… Krisan…”  Suara itu terdengar lagi, sementara si empunya nama terus mempercepat langkahnya.

“Hey, Krisan! Jangan lari! Tunggu!” teriak suara tadi.

 Krisan nampak berfikir. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.

“Ha? Arthur anak keluarga Harold?” tanya Krisan dalam hati.

Dari arah Timur, Arthur berlari menghampiri Krisan sambil menyerahkan selembar kertas dan sebuah pulpen.

“Kenapa kamu berlari, San? Kamu lupa dengan suaraku, ya?” tanya Arthur.

‘Tidak… Aku hanya takut kalau ada penculik’ tulis Krisan pada kertas yang diberikan Arthur tadi.

“Memangnya suaraku seperti penculik, ya?”

‘Sedikit… Hehehhee’

“Ini ada oleh-oleh. Kemarin aku baru pulang dari Sidney.”

‘Ada apa?’

“Lomba piano, ya belum jadi yang terbaik, sih. Tapi udah juara 3.”

Krisan lantas menjawab dengan menjabat tangan Arthur sebagai ucapan selamat. Setelah itu, ia mohon diri untuk kembali ke rumah karena hari sudah gelap.

Arthur Harold adalah seniman di mantan sekolah Krisan. Dia pula yang membantu gadis itu ketika kecelakaan 10 bulan yang lalu. Kini, Arthur telah menjadi sahabat Krisan setelah Luna Hawke.

“Dari mana, Nona Krisan?” tanya Bibi Paula, salah satu pelayan pribadi Krisan.

Pelayan itu menyerahkan kertas dan spidol, namun di tolak oleh Krisan. Ia hanya menjawab dengan menunjuk arah danau kompleks. Sejurus setelahnya, Krisan melangkah menuju kamarnya untuk mandi dan beristirahat.

Tak seperti anak-anak lain yang pada jam-jam seperti ini belajar ataupun mengerjakan PR, ia hanya berbaring di kasur sambil memainkan I-Pad dan HP. Sebenarnya membosankan, namun apa daya seorang hamba?

Setelah kantuk memberatkan kelopaknya untuk terus membuka, gadis itu lantas tertidur dengan nyenyak. Ia nampak pasrah menanti apa lagi yang akan terjadi esok hari. Mungkin akan berbeda tanpa kehadiran Luna. Penyesalan sedikit tercipta karena hari ini ia berlaku tak acuh pada sahabatnya itu.

Hari-haripun berlalu begitu cepat. Sang surya telah terbit pada bulan kesembilan. Pertengahan bulan ini Luna akan merayakan ulang tahunnya yang ke lima belas. Namun, ia belum juga pulang dari Paris. Hampir setiap hari Krisan sengaja lewat di depan rumah Luna, namun ia belum juga menampakkan batang hidungnya.

Sampai akhirnya, pada suatu hari Krisan melihat Pak Rudd, tukang kebun Luna, sedang memangkasi rumput di samping rumah. Ia menggoyang-goyangkan besi penutup gerbang rumah megah itu untuk menarik perhatian lelaki setengah baya tadi. Setelah melihat Krisan, orang itu berlari mendekati gerbang.

“Mencari Nona Luna?” tanya Pak Rudd.

Krisan menganggukkan kepalanya.

“Nona Luna tidak bilang, ya? Dia akan tinggal di Paris. Mungkin 6 bulan lamanya baru kembali ke Australia” jelas Pak Rudd.

Gadis itu nampak terkejut. Lantas ia menundukkan kepala tanda terima kasih dan segera berlalu.

Kini, ia sungguh menyesal. Tahun ini ia tak bisa merayakan ulang tahun Luna seperti tahun lalu. Jika pada ulang tahun ke empat belas kemarin mereka bisa berkaraoke bersama sampai jam 3 pagi, maka tahun ini mustahil terulang kembali. Luna tak ada di sini dan Krisan telah menjelma menjadi gadis bisu.

“Dari mana, San?” tanya Arthur yang masih mengenakan seragam sekolahnya.

Ia menjawab dengan menunjuk ke arah rumah Luna.

“Dari rumah Luna, ya? Bukannya Luna pindah ke Paris?”

Krisanpun menganggukkan kepalanya. Namun, sesaat kemudian perhatiannya beralih ke arah seragam yang dikenakan oleh sahabatnya itu, seragam kebanggaan Pierre Internasional School. Air mata mulai menetes kala ia merasakan seberapa besar kerinduannya akan mantan sekolahnya.

“Kamu nangis, San? Kenapa?”

Gadis itu menunjuk ke arah seragam yang dikenakan Arthur.

“Seragam ini? Kamu pasti kangen Pierre. Main ke sana, yuk!”

Krisan mengambil Handphonenya dan menuliskan sesuatu, ‘Tidak. Aku malu. Sebenarnya aku juga mau ke Pierre, tapi… sudahlah! Lupakan saja, itu bukan tempat yang pantas untukku’

Tanpa aba-aba lagi, Arthur menghidupkan mesin sepeda motornya kemudian mengajak Krisan ikut bersama. Awalnya, gadis itu menolak ajakan Arthur karena ia tahu Arthur akan mengajaknya ke Pierre. Tapi, dengan banyak pertimbangan, akhirnya ia menuruti ajakan Arthur.

“Ternyata Pierre tak jauh berubah” ucap Krisan dalam hati saat sampai parkiran.

“Ayo kita masuk! Bukannya kamu kangen sama Pierre?” ajak Arthur.

Lalu, Krisan mengikuti Arthur dari belakang. Lelaki itu mengajak Krisan menglilingi sekolahnya. Sesekali ia menoleh ke arah Krisan yang seperti sedikit lupa akan tata letak Pierre.

Langkah Krisan terhenti ketika berada di depan ruang kelas 8 Science. Dulu, itu merupakan kelas kebanggaannya. Karena memasuki kelas science, sulitnya bukan main. Ketika kelas 7, ia berada di 7 Language. Berbeda dengan Luna yang sampai kelas 9 ini masuk di kelas Creative maupun Arthur yang selalu di kelas Music.

“Arthur! Dia siapa?” tanya salah seorang siswa yang mungkin mengenal Arthur.

“Dia sahabatku, Krisan namanya” jawab Arthur,

“Sepertinya aku pernah melihat dia sebelumnya”

“Iya. Dulu dia siswa Pierre”

“Terus sekarang pindah kemana?”

Arthur tak berani menjawab pertanyaan itu. Sambil mengedikkan bahu, ia mengajak Krisan melanjutkan perjalanan mereka.

Tak terasa, jantung Krisan berdegup dengan kencang. Beberapa langkah lagi, ia berdiri tepat di depan ruang 9 Science. Ruang impian yang menjadi mustahil diraih.

Sebagai penawar kekecewaan, ia mengajak Arthur memasuki kelas itu. Ia berdiri di depan papan administrasi kelas. Ia membaca deretan nama-nama yang tak asing baginya. Refleks, tangannya berhenti di angka 12.

Kemudian, ia merutuki dirinya sendiri, “Seharusnya namaku yang tercantum di sini. Seharusnya fotoku terpampang di pojok sana. Seharusnya aku duduk di salah satu bangku ini. Seharusnya aku mempunyai jadwal pelajaran seperti ini”

“San, ayo! Masih jauh menuju tempat kekuasaanmu” ajak Arthur.

Dengan sangat terpaksa, Krisan meninggalkan ruang itu. Ia kembali membuntuti Arthur. Jika sudah sampai di lokasi kelas 9, maka ia benar-benar tidak tahu menahu.

“Aku ke toilet dulu, ya. Kamu tunggu saja di sini. Jangan kemana-mana!” pesan Arthur seraya meninggalkan Krisan menuju toilet.

Karena lelah, Krisan memutuskan untuk duduk di bangku dekat toilet. Samar-samar terdengar suara beberapa orang siswi. Di satu sisi ia takut, sebab ia bukan lagi siswa di sana dan bisa saja dikatakan sebagai penyeludup. Akhirnya, ia menundukkan kepalanya sambil berpura-pura mengetikkan sesuatu di HP. Gadis itu menyadari bahwa mereka sedang membicarakannya. Ia tidak tuli, ia mengenal suara itu.

“Hello! Kamu siapa? Mirip musuh abadi gua” kata orang itu.

“Oh, Ngel, dia itu Kresek alias Krisan brengsek” sahut suara yang lain.

Dengan penuh keberanian, Krisan mengangkat kepalanya. Ia melihat orang yang telah ia duga sebelumnya. Angel Keating, Rossie Fadden, dan Ann Barton. Mereka memang tidak suka dengan Krisan sejak menduduki bangku kelas 7 karena Krisan mendapat peran sebagai vokalis band angkatan 2010.

“Kamu bukan siswa sini, kan? Berani menginjakkan kaki di sini?” tanya Ann.

“Krisan Scullin,  gua kasih tau ya, sekolah ini itu bukan untuk penyandang cacat. Entah itu tuli, buta, ataupun bisu sekalian. Pierre itu sekolah untuk anak-anak keren dan NORMAL” cela Angel.

“Eh, cacat! Kamu bisa ngomong gak? Pasti gak kan, ya? Pasti cuma bisa a… i… e… o… Hahaha” sambung Rossie.

“Maklumlah, cacat. Mau gimana lagi?” lanjut Angel.

Seketika, wajahnya berubah memerah. Ia berniat untuk berlari, tapi…

“Brukkk…” ia menabrak Arthur yang baru saja keluar dari toilet.

“Hahahaha… Rasain loe! Eh, Arthur, ada penyusup tuh! Sebagai ketua OSIS harusnya bijaksana, donk! Kasih hukuman apa gitu, atau serahin aja ke pengamanan sekolah” kata Angel.

Tanpa memperhatikan omongan Angel, Arthur segera membantu Krisan berdiri. Ia mengangkat wajah sahabatnya dan mendapati gadis itu sedang menangis.

“Kamu tidak apa-apa, San?” tanya Arthur.

Krisan hanya menggelengkan kepalanya. Ia tak berani menatap Angel. Dalam ketidaksempurnaannya seperti ini, ia tidak kuasa berbuat apa-apa. Jika ia tidak datang bersama Arthur, maka ia dilarang memasuki kawasan sekolah.

“Kalian apa-apaan, sih? Tidak sopan sekali” tegur Arthur kepada tiga orang tadi.

Sebelum mereka sempat menimpali, Arthur segera mengajak Krisan menuju pintu keluar dekat auditorium. Meski ia tahu di sana masih banyak anak basket, namun yang ada di fikirannya sekarang adalah membawa Krisan pulang agar tak semakin tertekan.

“Arthur! Gadis ini pacar kamu, ya?” tanya salah seorang anggota klub basket.

“Bukan” jawab Arthur singkat sambil berlalu.

Hari terus berganti. Pierre telah berubah menjadi cambuk. Tepat hari ini pula Luna berulang tahun. Ingin sekali Krisan memberikan sebuah kado. Namun mustahil adanya jika sahabatnya yang satu itu ada di Paris. Ia mencoba menghubungi Luna melalui e-mail. Namun, ternyata e-mail lamanya telah ditutup. Akhirnya, ia hanya bisa memberikan birthday card melalui tukang kebun Luna. Meski ia tahu kartu itu tak akan dibaca Luna sebelum pulang, namun setidaknya ia benar-benar menyerahkan kartu itu saat tanggal ulang tahun Luna.

Kegiatan Krisan nampak monoton, hanya itu-itu saja. Sealain pelayan, ia hanya bisa bermain dengan Arthur. Itupun jika Arthur tidak sedang sibuk organisasi, urusan musik, atau ekstrakurikuler. Ayahnyapun tak kunjung pulang dari Canberra. Meski hubungannya dengan sang ayah kurang baik, namun tetap saja Mr. Rowbel adalah ayah Krisan. Walaupun beliau tak pernah memperhatikan Krisan, namun di sisi lain pasti ada rasa sayang yang tak ada tandinganya.

“Krisan, selamat ulang tahun, Nak!” teriak Mr. Rowbel saat beliau pulang.

‘Apakah hari ini hari ulang tahunku, Yah? Bukan, ini hari ulang tahun Kak Kevin. Mungkin Ayah salah menuliskan agenda. Ulang tahunku masih 1 bulan lagi’ kata Krisan melalui buku yang sedang ia pegang.

“Maaf, Nak! Ayah salah, namun Ayah datang membawa kabar baik untukmu. 2 hari lagi Ayah akan membawamu kepada dokter spesialis yang saat ini menjadi mitra Ayah. Pasti beliau akan bersungguh-sungguh menanganimu. Dan setelah kau sembuh, maafkan ayahmu, Nak! Ayah memang salah. Ayah paham atas kemarahanmu, itu wajar.” kata Mr. Rowbel panjang lebar.

Krisan menanggapi perkataan ayahnya dengan anggukan kepala. Lantas ia melangkahakan kaki keluar rumah. Rupanya, belum seratus persen ia memaafkan sang ayah.

Perlahan namun pasti, gadis itu kembali mengunjungi danau kompleks meski langit sedikit mendung. Nampak beberapa ekor angsa nan jauh di sana. Sang surya yang mulai condong ke barat memberikan semburat jingga yang menawan. Pantulan cahaya itu mengenai wajah putih miliknya, senada dengan baju polkadot oranye yang ia kenakan.

“Srekkk… srekkk… srekk…” terdengar suara kaki yang beradu dengan daun-daun mahoni yang berserakan di tanah. Ia menoleh ke sumber suara. Didapatinya seorang anak perempuan yang kira-kira berusia 7 tahun. Melihat Krisan memperhatikannya, gadis kecil itu berlari menghampiri Krisan.

“Kakak kok sendiri di sini?” tanya anak kecil itu.

Krisanpun hanya tersenyum dan mengelus rambut lurus anak tadi.

“Kakak kenapa diam? Kenalin namaku Carol. Kakak siapa?” tanyanya lagi.

Krisan masih tak berucap. Ia kembali tersenyum.

“Kakak bisu, ya? Kalo gitu, kakak dengerin cerita aku aja, ya”

Lagi-lagi Krisan hanya menganggukkan kepalanya.

“Begini ceritanya, Kak. Kemarin aku diajak papa ke dokter. Katanya aku kena leukimia tingkat 3. Terus sepupuku bilang kalau aku udah gak lama lagi hidup di dunia. Apa bener, Kak?”

Sungguh ia bingung harus menjawab apa atas pertanyaan Carol. Jika ia menjawab ‘Iya’ gadis itu pasti akan putus asa, tapi jika ia menjawab ‘tidak’ itu artinya ia memberikan harapan semu kepada Carol. Akhirnya, ia menuliskan sesuatu di layar handphonenya.

‘Carol, kamu tahu tidak kalau hidup itu ada batasnya? Semua orang bisa saja dipanggil Tuhan kapanpun Dia mau. Tidak hanya kamu, kakak juga. Nggak ada yang tahu jikalau besok atau sebentar lagi kita akan mati. Yang harus kita tahu, hidup itu mesti dipenuhi oleh warna. Kamu tidak usah memikirkan penyakit apapun yang bersarang di tubuhmu. Tapi lihatlah apa yang dapat kamu lakukan’

“Ooo… Begitu ya, Kak? Berarti aku masih bisa hidup lama, donk? Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Kak. Kapan-kapan kita ketemu lagi di sini” kata Carol seraya berlari meninggalkan tempat Krisan berdiam saat ini.

Sang waktu memang tak akan mau berhenti. Ia terus saja berputar dan berputar. Tidak ada sedikitpun toleransi bagi seorang manusia untuk memperpanjang usianya. Bahkan tak segan ia mempercepat lajunya.

Saat ini Krisan tengah berada di ruang operasi. Sesuai janji ayahnya bahwa hari ini ia akan melakukan operasi untuk memulihkan suara putrinya. Entah apa saja yang terjadi selama 7 jam operasi berlangsung dan kini Krisan sudah berada di ruang rawat pasca operasi. Selama 3 hari kedepan, ia akan berada di Rumah Sakit Sentral dan setelah itu barulah kembali ke rumah.

“Mr. Rowbel, apa kabar?” tanya dokter yang menangani Krisan.

“Kabar baik, dokter. Bagaimana kondisi anak saya?” tanya Mr. Rowbel balik.

“Putri Mr baik-baik saja. 1 jam lagi mungkin ia sudah siuman”

“Apakah anak saya benar-benar bisa sembuh, Dok?”

“85%. Sisanya tergantung kemauan Nak Krisan. Namun setelah ini, jangan diajak bicara terlalu lama” jelas dokter itu sebelum ia beranjak menuju ruang operasi untuk menangani pasien lain.

Tuhan itu Maha Adil. Setelah memberikan ujian,  Ia mengirimkan hikmah bersama dengan senyum yang merekah. Pagi ini diiringi sinar yang bersahabat, kedua kakinya dengan lincah menari-nari di atas lantai marmer rumahnya menuju pintu utama.

“Pak Malcolm, antarkan saya ke sekolah, ya!” kata Krisan.

Hari ini ia akan kembali ke Pierre. Seragam kebanggaan itu ia kenakan kembali, bando merah selaras dengan bajunya ia pasang dengan rapi.

Kakinya masih kaku untuk benar-benar melangkah ke setiap sudut sekolah. Jantungnya tak berhenti berdetak, sementara peluh mulai menetes di dahinya. Mr. Rowbel mengantar putrinya sampai Principal Room dan setelah itu barulah Krisan diantar menuju kelas 9 Music. Meski ia bisa memainkan gitar dan bernanyi, namun ini tidak sesuai dengan angannya. Walapun begitu, ia tetap bersyukur bisa kembali ke sekolah.

“Krisan! Welcome back!” kata Arthur ketika Krisan memasuki ruang kelas.

“Thanks, sobat!” sahut Krisan.

“Duduk saja di sebelahku. Arnold biar pindah ke belakang.”

“Hey, aku ini anak baru, jangan diajak rusuh, Arth!”

“Biarin! Teman-teman, hari ini ada murid lama masuk kelas kita! Beri salam!” teriak Arthur untuk menyedot perhatian seisi kelas tanpa melihat ekspresi Krisan.

“Salam, Krisan…” ucap siswa kelas 9 Music.

“Salam… Terima kasih!” balas Krisan kaku.

Orang musik memang beda dengan sebagian besar lainnya. Terkadang mereka tak memperhatikan penampilan, namun hatinya sungguhlah lembut. Tak terkecuali anak kelas musik. Mereka mampu menerima Krisan sebagi anggota baru. Toh mereka tahu bahwa kemampuan Krisan bisa disebandingkan dengan mereka dengan gelar mantan vokalis band sekolah angkatan 2010.

Tak terasa sebulan sudah berlalu. Kini Krisan telah terbiasa dengan hari-harinya di 9 Music. Namun belakangan ini ia seperti kekurangan semangat. Sering ada gangguan pada tangannya serta tak jarang ia hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan. Hal ini cukup mengganggu sederet aktivitasnya.

“Bruukkkk….” Krisan terjatuh saat akan menaiki tangga menuju kamarnya.

“Nona Krisan?” teriak Bibi Paula.

“Ada apa dengan Krisan, Bi?” tanya Mr. Rowbel sambil berlari dari laboratorium.

“Nona tiba-tiba jatuh, Mr!” jawab Bibi Paula.

“Ya sudah. Panggilkan Pak Malcolm. Siapkan kendaraan!” perintah Mr. Rowbel

Mobil dengan plat nomor K.1215 AN-QSL melaju dengan kencang menuju Brisbane Hospital. Setelah pemeriksaan selama + 15 menit, rumah sakit menyarankan Mr. Rowbel untuk melarikan putrinya ke Sidney Center Hospital. Tanpa pikir panjang, beliau memerintahkan Pak Malcolm untuk kembali melajukan mobilnya.

1 jam kemudian, mereka sampai di Sidney Center Hospital. Krisan langsung ditangani oleh tenaga ahli penyakit dalam.

“Mr. Scullin!” panggil assistan dokter yang memeriksa Krisan.

Sesegera mungkin Mr. Rowbel memasuki ruangan Dr. Billy Deakin.

“Bagaimana hasil pemeriksaan putri saya, Dok?” tanya Mr. Rowbel

“Putri anda terkena penyakit ataxia” jawab Dr. Billy

“Ataxia, Dok? Jangan bercanda! Putri saya baru saja sembuh dari bisu. Apakah dia harus kembali merasakan sakit?”

“Mr. Scullin, ini adalah kehendak Tuhan. Anda harus bisa menerima. Secara bertahap, keseimbangannya akan berkurang dan mulai ada gangguan gerak pada tangan dan lengannya”

“Bagaimana bisa anak saya mengidap penyakit yang belum ada obatnya?”

“Ada gangguan yang menyebabkan otak kecil atau serebelum memburuk sehingga mempengaruhi tulang belakang. Awalnya penyakit ini hanya menyerang usia lanjut. Namun belakangan ini, ataxia mulai menyerang remaja, Mr”

Setelah cukup lama berbincang, akhirnya Mr. Rowbel keluar dengan pikiran yang teramat sangat kacau. Bagaimana bisa putrinya yang baru saja menikmati kembali indahnya dunia sekarang harus menelan pahit kembali.

“Ayah kenapa? Ayo kita pulang, Yah! Aku mau mengerjakan PR” kata Krisan.

Tanpa menjawab pertanyaan anaknya, ia langsung berjalan menuju pintu keluar. Krisan sedikit bingung memperhatikan ayahnya. Terselip sedikit rasa takut jikalau penyakitnyalah yang menyebabkan ayahnya tertekan.

Sebulan sudah Krisan difonis mengidap penyakit ataxia. Sampai hari ini, saat usianya bertambah 1 tahun, ia belum juga mengetahui kenyataan itu. Belakangan ini ayahnya jarang pergi jauh dengan waktu lama seperti sebelumnya, beliau lebih sering bekerja di rumah. Janggal memang, namun tak sedikitpun membuat Krisan curiga.

‘Tokk… Tok… Tok…’ Ketukan itu mengantarkan Krisan untuk membuka pintu.

“Happy birthday, Krisan…” kata Luna, sahabatnya.

Tak habis pikir, Luna Hawke akan datang saat hari ulang tahunnya. Kali ini ia datang bersama Arthur. Semakin lengkap pulalah kebahagiaannya.

“Thanks Lu… Bruukkkkk” tiba-tiba Krisan kembali terjatuh.

“Kamu tidak apa-apa, San?” tanya Luna.

“Tidak, hanya sedikit pusing, jadi jatuh deh!” jawab Krisan.

“Oh, kalau gitu kita ke danau, yuk! Kangen sama Brisbane, nih!” ajak Luna.

Ketiganyapun berjalan bersama-sama menuju danau kompleks. Mereka bersenda gurau bersama, melepas rindu terutama dengan Luna. Ulang tahunnya menjadi sempurna. Harinya lebih berwarna. Ini adalah kali pertama ia menunjukkan suaranya kepada Luna setelah ia sembuh dari bisu.

“Kalau udah nggak ada di dunia ini, aku pengen kalian semua tetap sayang sama aku” kata Luna.

“Kalau aku udah nggak ada, aku pengen anak cucu kita bersahabat seperti kita dan kalian nggak boleh terlarut dalam kesedihan” sambung Krisan.

“Kalau udan berpulang, aku pengen kalian mengenangku sebagai bintang terindah di timur sana!” lanjut Arthur.

Setelah ketiga kalimat itu terucap, mereka kembali ke rumah masing-masing. Hari mulai gelap dan esok masih menanti dengan hal-hal baru yang lebih indah.

“Ayah! Ayah!” teriak Krisan.

“Ada apa, Nak?” tanya Mr. Rowbel

“Tanganku kenapa, ya, Yah? Sulit buat nulis, dari tadi gemeteran terus. Aku kan pengen ngerjain PR, Yah!”

“Kepalanya pusing? Atau tidak enak badan? Kamu tadi jatuh tidak, San?”

“Ya, tadi sempet goyah terus jatuh di dekat pintu yah. Tapi aku nggak papa, kok!”

Perlahan, air mulai menetes dari mata Mr. Rowbel. Krisan semakin bingung. Lama-lama beliau mulai terisak. Beberapa detik kemudian, Krisan kembali terjatuh dan pingsan. Gadis itu kembali di bawa ke Sidney Center Hospital.

“Perkembangan penyakit anak anda cukup signifikan. Hanya dalam tempo 1 minggu ia telah naik ke stadium 3. Hal ini di luar dugaan saya. Pihak rumah sakit hanya bisa angkat tangan. Kami tidak bisa menjanjikan bahwa kemoterapi saja cukup untuk memperpanjang usianya. Kami baru kali kedua menangani ataxia.” Jelas Dr. Billy.

Setelah mendengar penuturan dokter, Mr. Rowbel langsung membawa putrinya pulang. Tidak ada upaya lebih yang mampu dilakukan.

“Ayah! Aku kenapa, sih?” tanya Krisan sesampainya dirumah.

“Ataxia, stadium 3” jawab Mr. Rowbel pasrah.

Mendengar jawaban sang ayah, ia terus berjalan menuju kamarnya. Tak ada satupun yang mampu ia bayangkan. Ia tahu, ataxia adalah penyakit mematikan yang menyerang otak kecil dan sumsum tulang belakang. Ia tak pernah menduga, penyakit seganas ini akan menyerangnya. Ironisnya lagi, ia mengetahui hal ini pada hari yang masih menunjukkan tanggal kelahirannya.

Jam menunjukkan pukul 11 malam. Krisan terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa berat. Ia mencoba berdiri untuk mengambil minum. Namun kakinya seperti lumpuh. Tak bisa untuk menopang tubuhnya kembali. Ia mulai putus asa untuk mencoba. Diambilnya sebuah pena dan selembar kertas di atas meja.

Sesaat setelahnya, darah segar keluar dari hidungnya. Ia jatuh dari kursi dan menyampar bingkai foto bergambarkan dirinya, Mr. Rowbel, serta Kak Kevin.

Keesokan harinya, Bibi Paula menemukan Krisan tengah tak sadarkan diri. Setelah diperiksa ayahnya, ternyata ia telah tiada.

Teruntuk ayah dan semua orang yang aku sayangi.

Setelah aku tahu bahwa aku mengidap ataxia dari ayah beberapa jam yang lalu, aku sedikit putus asa. Aku merasa Tuhan tidak adil. Belum lama aku sembuh dari bisu, setelah itu aku dinyatakan terkena ataxia. Saat ini, aku sudah merasakan sakit yang bukan main rasanya. Aku merasa akan segera menyusul Kak Kevin dan Bunda.

Ayah, aku minta maaf jika aku tidak bisa menjadi anak yang baik untuk ayah. Aku sempat memusuhi ayah. Mungkin aku anak nakal yang hanya bisa merepotkan ayah. Terima kasih atas semuanya, Yah! Terima kasih atas usaha ayah menyembuhkan aku dari bisu. Usaha ayah tidak sia-sia. Seharusnya ayah tidak punya anak seperti aku.

Bibi paula dan Pak Malcolm, terima kasih sudah merawatku sampai besar. Maaf jika aku merepotkan, punya salah, dan sempat menyakiti kalian. Jasa kalian telalu berharga untuk anak sepertiku.

Luna, Arthur, aku pergi dulu, ya! Kalian sahabatku yang paling baik, kok! Sahabat sepanjang hayatku. Maaf aku tidak bisa jadi sahabat yang baik untuk kalian. Aku banyak merepotkan kalian. Buat Luna yang sabar menemaniku dalam kondisi normal maupun bisu dan Arthur yang telah membantu serta mengisi hariku saat aku dilinggalkan oleh Luna :D. Tidak ada di antara kalian yang tak sempurna di mataku. Ingat janji kita tadi sore di danau kompleks. Jangan bersedih, ya! Masih banyak hari-hari yang lebih indah nantinya. Jika kalian hanya melihat hari ini, maka kalian nggak akan pernah maju.

Dan untuk semua yang sempat mengenalku, tak lupa aku ucapkan terima kasih karena telah hadir di hidupku. Aku juga meminta maaf atas segala kesalahanku.

Mungkin hari ulang tahunku menjadi hari terakhirku di dunia ini. Tepat 15 tahun, bukan? Itu tandanya Krisan akan bersemi dan mati di bulan November.

With Love,

Krisan Aquila Scullin Bunga krisan sebagai perlambang kelahiran bulan Nopember. Ia berarti keceriaan, pesona, optimis, kelimpahan, keberuntungan, dan persahabatan. Menurut ilmu feng shui, bunga krisan dapat membawa kebahagiaan dan tawa di dalam keluarga. Krisan memang telah berakhir karena tak ada yang kekal di dunia ini, namun kisah hidupnya masih di kenang oleh orang-orang di sekitarnya.

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *